Lestari hutanku, lestari alamku, untuk warisan anak-cucu dan stop illegal logging

Sebagai anak daerah yang saat kecil dilingkupi hutan bukan hal yang aneh melihat hutan yang masih alami. Dan pengalaman mengikuti ayah survey sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala pengairan lalu dipindahkan ke Bina Marga,  dimana hampir separuh kegiatannya adalah mamasuki hutan yang satu ke hutan yang lain guna pembuatan jalan atau sekedar hobi ayah yang senang berpetualang ke hutan.

Menambah referensi  kakek sebagai pemilik hutan lindung kecil di utara lampung, dimana hutan itu semasa beliau hidup tidak boleh dijadikan ladang, alasan sederhana dari seorang laki-laki tua yang sederhana, tidak bisa lagi mendengar kokok ayam hutan, untuk tempat tidur binatang, khawatir  babi hutan yang merusak ladang-ladang petani semakin merajalela karena hariamu sudah tidak ada lagi, lalu banyaknya ular ke rumah penduduk karena elang sudah tidak ada lagi, yang apabila diurutkan alasan itu sebenarnya seorang kakek tua sudah menjaga sebuah ekosistem, menjaga rantai-rantai kehidupan untuk bisa menjalani siklus kehidupan sesuai dengan alamnya.

JIka 1000 kakek di Indonesia ini masih memepunyai prinsip seperti itu, melarang anak cucunya untuk merusak hutan yang tujuan utamanya hanya pemenuhan napsu perut saja, perut dengan diameter tidak lebih dari 30 cm dapat memusnakan seluruh hutan di Indonesia dengan illegal logging.

Dua kata itu bagaikan nuklir gaungnya, namun tidak meledak dalam waktu yang singkat,  ledakan yang sedikit demi sedikit ibarat makan bubur dari bagian tengah yang akhirnya habis satu piring.

Apa sebenarnya arti kata ILLEGAL LOGGING?

Dari wikipedia

Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.

Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber tepercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai AmazonAfrika TengahAsia TenggaraRusia dan beberapa negara-negara Balkan.

Lalu apa yang menyebabkan illegal logging terjadi, apa akibatnya dan bagaimana penanggulangannya ? Urusan priuk nasi dirumah katanya erat kaitannya dengan kalimat diatas,  rasanya kalo cuma untuk memasak seperiuk nasi cukuplah dengan beberapa buah kayu bakar saja, yang zaman dahulu diambil dari ranting-ranting yang berjatuhan di hutan. Rasanya tidak percaya kalo tangan dan kaki kecil petani mampu memotong pohon yang besar dan mengangkutnya keluar hutan dalam jumlah yang banyak. Ada tangan lain yang membantu? Pasti tangan itu sangat kekar, kokoh dan kuat ibarat film mungkin seperti superman, hulg atau spider man dengan jala-jalanya yang kuta mampu menahan gerbong-gerbong kereta api yang belum berat dan panjang.

Sebab :

Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal:

pertama, tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal.[2]Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal logging). Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

Kedua, tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konsesi hutan, yaitu 20 tahun[3] dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun.[4] Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.

Ketiga, lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktekillegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal logging.

Keempat, tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, -sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan- pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah terjadi tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya, -termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

Akibat

Praktek illegal logging sudah barang tentu memiliki ekses negatif yang sangat besar. Secara kasat mata ekses negatifillegal logging dapat diketahui dari rusaknya ekosistem hutan. Rusaknya ekosistem hutan ini berdampak pada menurunnya atau bahkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyimpan air, pengendali air yang dapat mencegah banjir juga tanah longsor. Sehingga rentan terhadap bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Di samping itu,illegal logging juga menghilangkan keanekaragaman hayati, berkurangnya kualitas dan kuantitas ekosistem danbiodiversity, dan bahkan illegal logging dapat berperan dalam kepunahan satwa alam hutan Indonesia.

Dari sisi ekonomis, illegal logging telah menyebabkan hilangnya devisa negara. Menurut Walhi, hasil illegal logging di Indonesia pertahunnya mencapai 67 juta meter kubik dengan nilai kerugian sebesar Rp 4 triliun bagi negara.[5] Di samping itu, data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1998 hingga 2004, kerugian Indonesia akibat illegal logging mencapai 180 triliun.[6]

Penanggulangan

Terdapat beberapa alternatif cara untuk menganggulangi atau paling tidak meminimalisir praktek illegal logging.Pertama, telah diungkapkan sebelumnya bahwa praktek illegal logging disebabkan oleh meningkatnya permintaan kayu di pasar internasional. Dan sebagian besar kayu yang dipasarkan di dunia internasional adalah kayu hasil illegal logging. Hal ini berarti bahwa illegal logging turut melibatkan dunia internasional. Dengan demikian penanggulanganillegal logging harus dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan dunia internasional, seperti yang telah dilakukan Indonesia dengan Inggris lewat penandatanganan nota kesepahaman Forest Law Enforcement and Governance (FLEG). Hal terpenting dalam nota kesepemahaman tersebut adalah pemenuhan standar legalitas (keabsahan) kayu yang diperdagangkan. Keabsahan kayu harus dilihat, baik oleh hukum negara maupun hukum adat di mana kayu tersebut tumbuh.

Kedua, terkait dengan lemahnya penegakan dan pengawasan hukum, disinyalir karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Oleh karena itu, tindak pidana illegal logging ini harus dibentuk dalam undang-undang sendiri tentang illegal logging. Alasannya, selain karena UU Kehutanan dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging,juga karena tindak pidana illegal logging dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Selain merugikan keuangan negara, illegal logging juga setidaknya memiliki empat tindak pidana, yaitu: perusakan lingkungan, korupsi, pencucian uang, dan pelanggaran kepabeanan. Sehingga penanganannya pun harus luar biasa, termasuk memasukkan illegal logging dalam undang-undang khusus di luar UU Kehutanan.

Ketiga, terkait dengan tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menyangkut kehutanan. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, managemen hubungan pusat daerah harus dikelola dengan baik, sehingga terjadi sinkronisasi fungsi antara pusat dan daerah. Harus dipahami bahwa dalam konsep otonomi, daerah memiliki wewenang dominan di daerahnya dibanding pusat, maka harus ditegaskan bahwa kebijakan yang menyangkut daerah, termasuk kebijakan dalam rangka kekayaan daerah (termasuk di dalamnya hutan), harus berada di tangan daerah dalam batas-batas tertentu kewenangan. Di samping itu, harus dibentuk suatu mekanisme pengawasan pelaksanaan kebijakan daerah, sehingga daerah tidak absolut dalam menentukan kebijakannya, sehingga prinsip check and balance terjadi antara pusat dan daerah. Misalnya, kewenangan pemberian HPH berada pada pemerintah daerah, tetapi setiap pemberian HPH oleh pemerintah daerah kepada pemilik modal harus dilaporkan kepada pusat, sehingga pusat dapat mengawasi pelaksanaan HPH tersebut.

Keempat, penanggulangan illegal logging dengan pendekatan ekonomi, yaitu dengan menjalin kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sinergi dengan ketiga institusi tersebut untuk menanggulangi illegal logging dilakukan dengan pelacakan terhadap uang hasil illegal logging. Dari sisi legal, BI telah mensyaratkan prinsip Know Your Customer, yang mengharuskan perbankan mengenali nasabahnya. Jika ada transaksi di atas Rp. 100 juta sehari, nasabah harus menjelaskan asal-usul uang. Juga ada Undang-Undang No. 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang memungkinkan menjerat illegal logging sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pendekatan anti-money laundering regime untuk menekan laju illegal logging dapat diterapkan. Kemudian, PPATK bisa memulai membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyedia jasa keuangan (bank, pasar modal, asuransi, dan money changer) membuat laporan rutin tentang transaksi-transaksi yang dicurigai. Langkah ini harus diikuti dengan penerbitan pedoman bagaimana perbankan bisa mengenali transaksi hasil illegal logging. Pada tahap awal, langkah ini akan terbantu bila PPATK membuat semacam risk profile: high risk country, location, and customer.[7] High risk countrymenunjukkan negara-negara yang berpotensi tinggi melakukan tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, terhadap negara-negara tersebut diterapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi. High risk locationmenunjukkan daerah-daerah di Indonesia yang kerap kali menjadi daerah keluar masuk kayu ilegal. High risk customermenunjukkan identitas-identitas nasabah yang acapkali bertindak sebagai penyokong tindak pidana illegal logging.

Catatan:

[1] Penebangan Liar, (http://id.wikipedia.org/wiki/Penebangan_liar), Diakses 12 Desember 2008.

[2] “Illegal logging,” Penyebab dan Dampaknya, (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0309/ 16/opini/563606.htm), Diakses 12 Desember 2008.

[3] Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1971 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.

[4] Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi.

[5] Negara Rugi Rp 4 Triliun Pertahun Akibat Illegal Logging, (http://www.eramuslim.com/berita/ nasional/negara-rugi-rp-4-triliun-pertahun-akibat-illegal-logging.htm), Diakses 12 Desember 2008.

[6] Menhut: Rp180 Triliun Negara Rugi Akibat ‘Illegal Logging’, (http://www.kapanlagi.com/ h/0000063985.html), Diakses 12 Desember 2008.

[7] Illegal Logging dan Pencucian Uang, (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/ 2007/12/04/brk,20071204-112877,id.html), Diakses 12 Desember 2008.

Desember 2008

Posted 7th December 2011 by Dessy Eko Prayitno

Miris membaca beberapa hasil temuan diatas? Terhenyak dan langsung terbayang seperti apa beberapa puluh tahun kedepan Indonesia ini. Masih kah kita dapat mendengar langkah gemuruh kawanan gajah sedang bermain , masihkan kita dapat melihat badak-badak yang semakin terancam punah berkubang didalam hutan, menggaruk-garukkan badannya ke pohon, sehingga badannya yang penuh lumpur tertempel aneka biji2 buah kayu dihutang, lalu badak berlari jauh dari satu hutan ke hutan yang lain, dimana biji –biji yang menempel berhamburan lalu tumbuh menjadi pohon yang besar dan kuat seperti induknya, kemana perginya duta reboisasi ini jika sudah tidak ada hutan?

Untuk mencegah semakin maraknya praktek Illegal Logging ini muncullah program  SVLK, mahluk seperti apa SVLK? Mampukan melawan rantai kuat yang melingkupi Illegal Logging?

SVLK / INDONESIA TLAS

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia  (SVLK) merupakan sebuah skema lisensi yang menjamin ekpor kayu sesuai dengan hukum hutan di Indonesia melalui pemerintah dan definisi legalitas yang telah disetujui oleh berbagai pihak. Indo-TLAS terdiri dari standar legalitas, kriteria, verifier, metode verifikasi, dan norma evaluasi. Indo-TLAS didesain untuk menjadi sistem verifikasi legalitas yang dapat dipercaya, efisien dan adil sebagai kontribusi dalam memerangi pembalakan liar.

SVLK mempunya dua fungsi :

  1. Memerangi pembalakan liar di Indonesia dengan menjamin bahwa setiap produk hutan yang diekspor dari indonesia telah dipanen oleh pihak legal, bebas dari kemungkinan pencampuran kayu dengan sumber yang tidak teridentifikasi dan menghormati hak-hak masyarakat lokal seperti hak negara atas pembayaran pajak dan pungutan hutan lainnya.
  2. Mempromosikan perdagangan produk kayu yang dipanen secara legal sehingga memajukan pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.

Untuk lebih detail mengenai SVLK dapat melihat web http://www.mfp.or.id/?page_id=692

 

Pada tanggal 14 Oktober 2012 yang baru saja lewat, kami blogger dari berbagai komunitas berkumpul bersama untuk gathering dan diskusi mengenai tema yang sama. Atas undangan Pak Slamet Riyadi dari Fortune, kegiatan ini dilaksanakan atas kerjasama Departemen Kehutanan, Yayasan KEHATI dan UKaid.

Mbak Diah Raharjo sebagai wakil dari yayasan KEHATI sebagai pembicara dan Koen Setyawan dan Pak Slamet sebagai moderator.

Dari awal kami mendengar penuturan Mbak Diah Raharjo sebagai program direktur dari Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme menyampaikan  dengan lugas dan langsung ke inti permasalahan tentang illegal logging sampai SVLK , membuat kami peserta terhenyak. Ya Allah, dua kata itu langsung terucap dalam sanubari, begitu rakusnya hamba-hambamu dalam mencari harta didunia ini, berapa besar kantung yang ada diperut hingga mampu menelan begitu banyak kerusakan dimuka bumi ini yang diakibatkannya. Tidakkan mereka ingin meninggalkan sebagian untuk anak cucu kelak.

Seperti mata rantai yang saling mengikat, begitu kuat, seakan tidak akan terputus hingga akhir zaman. Seperti yang dijabarkan di atas illegal logging  marak karena tuntutan perut yang seakan tidak pernah selesai. Pembodohan di masyarakat kecil dan awam mereka laksanakan. Penduduk di iming-imingi harga yang menguntungkan dengan menampung hasil kayu curian yang mereka tebang dihutan , yang pada akhirnya  masyarakat menjadi pekerja dengan upah yang kecil, jauh dari keuntungan yang mereka raup.

 Namun pada saat kayu akan dibawa keluar hutan oleh penadah karena tidak ada surat resmi maka akan ditangkap oleh pihak yang berwajib dan kayu sitaan ini kemudian akan dilelang. Lalu sekarang , siapakah pembeli lelang itu? Siapapun pembeli lelang itu toch pada akhirnya kayu sitaan yang katanya illegal itu akhirnya menjadi legal kan, boleh diperjualbelikan.

Seperti iklan jeruk makan jeruk…menjadi mudah melegalkan kayu-kayu curian itu.

Sebagai pemerhati lingkungan tentu saja sangat prihatin, namun cukupkah kita hanya bicara ngeri ya, prihatin ya, koq tega ya, koq bisa sampai begitu ya? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul mendapati hal itu berlangsung di bumi pertiwi ini.

Saat sesi tanya jawab seputar SVLK banyak sekali informasi yang disampaikan dan juga saran oleh teman-teman blogger. Saya sendiri sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai usaha sampingan yang utama dibidang boga tapi juga aktif dalam beberapa organisasi sosial dan lingkungan,  mengupas dari sisi generasi muda. Generasi muda tumbuh dan berkembang lebih cepat dari reboisasi pohon di hutan, kayu ditanam dan dapat diambil manfaatnya butuh waktu 30 sd 50 tahun, namun anak-anak usia SD menjadi mahasiswa hanya butuh waktu tidak lebih 7 tahun saja.

Apalagi saat sekarang sudah ada mata pelajaran PLH, pendidikan lingkungan hidup, dimana materi yang disampaikan juga mengenai rusaknya hutan dengan illegal logging.

Ada baiknya kita sosialisasikan betapa perlunya hutan bagi kehidupan kita kepada generasi muda ini, banyak hal bisa kita sampaikan kepada mereka. Pada mata pelajaran PLH sendiri harusnya mulai diberikan gambaran secara nyata apa yang terjadi sesungguhnya dengan praktek illegal logging, tentu saja dengan bahasa yang bertingkat, antara sd, smp, dan sma berbeda. Bahkan sangat disarankan anak-anak level SMA datang langsung ke daerah hutan yang telah terjadi illegal logging secara besar-besaran, diberikan gambaran nyata kepada mereka, bahwa ditangan merekalah kelak Negara dan bangsa ini akan bergantung.

 Jika hal ini sudah disosilisasikan secara masal dengan sosialisasi yang baik, mudah-mudahan ada perubahan dimasa yang akan datang.

Anak-anak sekarang  kreatif dan imajinatif, tidak terlalu sulit menggiring mereka pada prinsip yang baik dalam penanganan  hutan. Untuk usia TK dan SD dimana dongeng sekarang mulai membahana, penerapan system pendidikan bercampur antara moral dan akademis dapat disampaikan dengan cerita.

Beberapa kali saya mengikuti dongeng yang bertema hutan lestari, dan penyerapan materi dari dongeng itu begitu kuat dalam memori anak-anak, setelah mereka memasuki jenjang SMP dan SMA cerita itu masih melekat kuat.

 Kemudian bisa dijembatani antara pihak pemerhati lingkungan dan sekolah-sekolah untuk Road show ke sekolah-sekolah mengenai hutan dari A-Z. Tidak harus dalam bentuk pemaparan secara akademik tapi bisa melalui permainan games, pemutaran film dokumentar atau lomba menulis.

Yang paling cepat dapat dilaksanakan oleh kami blogger adalah sosialisasi program ini, melakukan share informasi, melalui aneka ragam tulisan  karena blogger identik dengan dunia tulis menulis. Inginnya  kita gelontarkan lomba menulis tentang praktik illegal logging seluruh Indonesia, informasi didaerah masing-masing dengan disertai foto-foto kejadian . Tulisan yang masuk yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya semoga bisa menambah referensi  pihak yang berkepentingan (NGO)  sebagai bahan untuk segera melaksanakan SVLK dengan baik.

Masalah hutan bukanlah masalah perorangan, tapi sudah menjadi masalah Nasional bahkan masalah Internasional. Dapat dibayangkan kegelisahan pihak Negara lain yang masih memakai hati nurani dalam mensikapi kehidupan di Bumi ini. Didunia ini yang memiliki hutan tropis terbesar adalah Indonesia dan Brazil, dapat dibayangkan jika Hutan Tropis itu semakin hari semakin habis, dampaknya akan sangat luar biasa bagi kehidupan manusia. Rusaknya rantai makanan, rusaknya jaring-jaring kehidupan dan ekosistem.

Lalu masih dapat tersenyumkah kita saat sudah memakai tongkat, raga ini sudah tidak dapat bergerak leluasa hanya memandangi anak cucu kita dengan aneka bencana alam, perubahan iklim yang tidak menentu, kemarau yang panjang. Flora dan Fauna yang semakin punah….

Illegal logging hanya dapat dihentikan oleh tangan kita sendiri, siapakah kita? Gabungan dari diri sendiri, saudara, teman maupun siapa saja yang masih mau melihat kehidupan lebih baik ke depan.

Terima kasih kepada MBak Diah Raharjo dari yayasan KEHATI, Bapak Slamet dari Fortune, Departemen Kehutanan, UKaid yang selalu berusaha untuk menjaga hutan kita dari A-Z, semoga usaha bersama ini akan mendatangkan manfaat dimasa yang akan datang. Diskusi yang sangat luar biasa ini, membuat kami lebih terbuka apa yang sebenarnya sedang terjadi pada alam kita, hutan kita dan bumi kita.

LESTARI HUTANKU, LESTARI ALAMKU, LESTARI BUMIKU…

 

Posted on 18 Oktober 2012, in anak, Blogor, Blogroll, Cerita Anak, Cerita-cerita, Keluarga, Komunitas, lingkungan, Pendidikan. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. wah salut sama bunda
    terus mengikuti banyak kegiatan positif
    lestari alamku

Tinggalkan komentar